Oleh: Dr. Amalia Puji Rahayu, S.Pt., M.Si.
Populasi sapi perah di Indonesia mengalami peningkatan hanya dalam jumlah kecil dari tahun ke tahun. Kebutuhan susu dalam negeri mencapai 2,6 juta ton per tahun, namun peternakan dalam negeri hanya mampu memasok kebutuhan susu sebesar 22 – 30 %, sedangkan sisanya berasal dari impor. Peningkatan produksi ternak sapi perah secara nasional dapat dilakukan melalui peningkatan populasi dan perbaikan mutu bibit sapi perah. Oleh karena itu, bibit sapi perah memegang peranan penting dalam upaya pengembangan sapi perah.
Saat ini sebagian peternakan sapi perah telah dikelola dalam bentuk usaha peternakan sapi perah komersial dan sebagian lagi masih berupa peternakan rakyat yang dikelola dalam skala kecil dan belum menggunakan sistem pembibitanyang terarah sehingga bibit yang dihasilkan kurang dapat bersaing. Pengembangan pembibitan sapi perah memiliki potensi yang cukup besar dalam rangka memenuhi kebutuhan jumlah dan mutu bibit sesuai standar, serta mengurangi ketergantungan impor produk susu maupun impor bibit sapi perah. Peningkatan kualitas dan produktivitas bibit sapi perah tergantung kepada potensi genetik dan pengaruh lingkungan (Hindratiningrum, 2008). Kedua faktor tersebut harus benar – benar diperhatikan untuk mencapai produktivitas maksimal, diantaranya dengan penerapan manajemen pembibitan sapi perah yang baik (Good Breeding Practice / GBP).
Tinjauan Umum Mengenai Sapi Perah
Santosa (2006) menyebutkan ciri – ciri umum sapi perah yaitu memiliki tubuh luas ke belakang seperti baji atau gergaji, sistem perambingan baik, efisiensi pakan tinggi yang dialihkan untuk produksi susu, dan memiliki sifat relatif jinak. Jenis sapi perah yang unggul dan banyak dipelihara adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Jersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark), Droughtmaster (dari Australia) dan Ayrshire.
Sapi Peranakan FH (PFH) merupakan persilangan antara FH dengan sapi lokal Indonesia. Sapi ini paling banyak dikembangkan di Indonesia. Karakteristiknya yaitu warna tubuh hitam atau merah belang putih (atau sebaliknya) dengan pembatas yang jelas; terdapat warna putih berbentuk segitiga di dahi dengan kepala panjang, sempit, dan lurus; tanduk relatif pendek mengarah ke depan dan membengkok ke dalam; serta tidak tahan terhadap suhu lingkungan yang tinggi (Sudono et al., 2003).
Menurut Putranto (2006) dan Sunarto (2007), rata-rata produksi sapi PFH di Indonesia ± 10 liter per hari atau ± 3.050 kg per laktasi. Produksi ini lebih rendah dibandingkan sapi FH (± 6.000 kg per laktasi) karena faktor genetik, iklim, dan kualitas pakan. Kurva produksi susu pada awal laktasi akan mengalami kenaikan menuju puncak laktasi yang kemudian berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Anang et al., 2010).
Manajemen Pembibitan Sapi Perah
Pembibitan adalah kegiatan budidaya untuk menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjual belikan (Direktorat Perbibitan Ternak, 2012). Tata laksana pembibitan sapi perah yang baik meliputi aspek – aspek sebagai berikut :
A. Sarana, Prasarana, dan Manajemen Pemeliharaan
- Lokasi
Di dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah yang Baik, diatur syarat – syarat lokasi usaha pembibitan sapi perah sebagai berikut :
- Tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) setempat;
- Mempunyai potensi sebagai sumber bibit sapi perah dan didukung oleh infrasktruktur yang baik;
- Tidak mengganggu ketertiban dan kepentingan umum setempat, serta berupaya agar limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan;
- Jarak antara usaha pembibitan sapi perah dengan usaha pembibitan unggas minimal 1.000 meter;
- Sumber air minum mudah didapat, air memenuhi baku mutu air yang sehat, serta tersedia sepanjang tahun dalam jumlah sesuai kebutuhan;
- Lokasi di daerah yang tidak terdapat gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit radang limpa (Ánthrax), kluron menular (Brucellosis), tuberculosis, anaplasmosis, leptospirosis, salmonelosis dan piroplasmosis.
- Perkandangan
Santosa (2006) menyebutkan syarat kandang sapi perah sebagai berikut:
- drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan;
- ventilasi / sirkulasi udara dan sinar matahari cukup, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur utara-selatan;
- lantai dengan kemiringan 2 – 5%, tidak licin, tidak kasar, dan mudah kering;
- terpisah dengan rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter.
Sunarko et al. (2009) menyatakan kandang sapi laktasi dapat didesain dengan sistem kandang bebas (freestall) yaitu secara berkelompok dan bebas bergerak kecuali pada saat dilakukan pemerahan, atau dengan sistem stall yaitu mengikat sapi. Sistem stall lebih umum digunakan di Indonesia, dapat berupa kandang satu baris atau dua baris. Kandang 2 baris dapat saling menghadap (head to head) atau saling membelakangi (tail to tail). Ukurannya yaitu:
- Ukuran panjang 1,6 m dan lebar 1,35 m per ekor sapi;
- Jalan untuk pemberian makanan 1 m. Untuk tipe 2 baris, jalan tengah 2 m;
- Selokan pembuangan kotoran lebar 40 cm, kedalaman 20 cm, miring 0,5%
- Ukuran tempat pakan tinggi 50 cm, lebar 60 cm, panjang 100 cm;
- Tempat minum menyekat tempat pakan, ukuran 50 cm x 50 cm x 40 cm.
Kandang pedet umur 0 – 3 bulan dibuat individu dengan panjang 2 m, lebar 1,2 m, tinggi 1 m yang dikelilingi oleh dinding samping kiri, kanan, dan belakang untuk mencegah penularan penyakit. Kadang pedet umur 3 – 6 bulan dapat dibuat berkelompok maksimal 6 ekor. Kandang sapi dara diatur sesuai kelompok umur untuk memudahkan deteksi birahi.
Lingkungan kandang diatur sedemikian rupa agar optimal untuk sapi perah yang rentan terhadap cekaman panas (heat stress). Cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung; dan 7) perubahan tingkah laku (Hadziq, 2011). Suhu lingkungan yang optimal adalah 18,3 – 21,1 0C (Mukhtar, 2006). Di daerah tropis yang lembab, penggunaan kipas angin selama ± pukul 08.00 – 20.00 meningkatkan produksi susu sapi selama trimester pertama laktasi (Suriyasathaporn et al., 2006).
- Bibit
Bibit sapi perah diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Bibit dasar (elite/foundation stock), diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai pemuliaan di atas nilai rata-rata;
- Bibit induk (breeding stock), dari proses pengembangan bibit dasar;
- Bibit sebar (commercial stock), dari proses pengembangan bibit induk.
Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian (2006) sebagai berikut :
Bedasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2735:2008), persyaratan kuantitatif bibit sapi perah betina sebagai berikut :
Persyaratan kuantitatif bibit sapi perah jantan / calon pejantan berdasarkan SNI tersebut adalah umur minimum 18 bulan, tinggi pundak minimum 134 cm, berat badan minimum 480 kg, lingkar skrotum minimum 32 cm, warna hitam putih atau merah putih sesuai karakteristik sapi perah, mempunyai kartu identifikasi dan silsilah. Bibit sapi perah yang baru harus dipelihara dikandang isolasi lebih dahulu sampai dinyatakan tidak tertular penyakit.
- Pakan
Setiap usaha pembibitan sapi perah harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan (±10% dari bobot badan), maupun pakan konsentrat (± 1,5 – 3 % dari bobot badan). Penambahan konsentrat pada sapi perah awal laktasi yang digembalakan di pastura berkualitas baik dan dikonsumsi secara ad libitum meningkatkan produksi susu dibandingkan sapi yang hanya mengkonsumsi rumput saja (Pulido et al., 2009). Air minum disediakan secara tidak terbatas (ad libitum). Standar nutrisi konsentrat sapi perah berdasarkan SNI 3148.1.2009 sebagai berikut :
- Obat – obatan Ternak
Obat hewan yang digunakan meliputi sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami. Penggunaan obat di bawah pengawasan medik atau paramedik veteriner. Vaksinasi dan atau obat cacing diberikan secara berkala sesuai kebutuhan. Setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak. Pemotongan kuku sebaiknya dilakukan 3 bulan sekali. Selain obat, juga disediakan desinfektan untuk biosecurity (Santosa, 2006).
Mastitis merupakan penyakit yang paling umum diderita oleh sapi perah. Mastitis dapat menurunkan produksi susu, “culling” dini pada ternak, dan biaya perawatan yang tinggi (Duguma, 2012). Mastitis adalah penyakit radang ambing yang merupakan radang infeksi. Mastitis dapat disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus, dsb. Pencegahan mastitis dilakukan dengan menjaga kebersihan saat pemerahan, pencelupan puting dalam cairan desinfektan setelah pemerahan (dipping), menjaga agar sapi tetap berdiri ± 30 menit setelah pemerahan dengan cara memberi pakan hijauan (Resti, 2009).
B. Manajemen Reproduksi
Penampilan reproduksi sapi perah diantaranya umur beranak pertama, jumlah kawin per kebuntingan / service per conception (S/C), masa kosong (days open), dan selang beranak (calving interval). S/C adalah jumlah perkawinan yang telah dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan dari setiap individu (Rasad, 2009). Masa kosong (days open) merupakan salah satu faktor penentu produksi susu. Masa kosong adalah jarak waktu beranak sampai terjadi kebuntingan berikutnya (Izquierdo et al., 2008). Berdasarkan persamaan model regresi kuadratik, peningkatan masa kosong akan menyebabkan penurunan produksi susu (Atabany et al., 2008).
Susu baru dapat diperoleh setelah sapi perah beranak, oleh karena itu efisiensi reproduksi sangat penting dalam manajemen sapi perah. Sudono et al. (2003), faktor yang mempengaruhi kualitas, kuantitas dan susunan susu sapi perah adalah bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau birahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan. Pemerahan yang dilakukan lebih dari 2 kali sehari, biasanya dilakukan terhadap sapi-sapi yang berproduksi tinggi (lebih dari 20 liter).
Perkawinan umumnya dilakukan dengan teknik Inseminasi Buatan (IB) menggunakan semen beku. Dalam kasus perkawinan dengan teknik tersebut mengalami kegagalan maka dapat dilakukan perkawinan alam dengan pejantan unggul, dengan rasio jantan banding betina 1 : 8 – 10. Dalam pelaksanaan perkawinan harus dilakukan pengaturan penggunaan semen beku/semen cair atau pejantan untuk menghindari terjadi kawin sedarah (inbreeding) (Permentan no.55, 2006). Kejadian kawin berulang (Repeat Breeder Syndrome) terbanyak terjadi pada sapi persilangan, diikuti oleh FH, Red Holstein, dan Simmental. Kejadian ini jarang sekali ditemukan pada sapi Brown Swiss. Aplikasi gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dan analog prostaglandin (cloprostenol) menghasilkan angka kebuntingan pada perkawinan pertama (conception rate / CR) lebih tinggi (Zober et al., 2011).
Sunarko et al. (2009) menyebutkan indikator efisiensi reproduksi yaitu : (1) umur pertama beranak 24 – 28 bulan, (2) bobot badan dara dikawinkan minimal 270 kg, (3) selang beranak 12 – 13 bulan, (4) days open 85 – 100 hari, (5) S/C 1 – 1,5 kali, (6) CR lebih dari 60%, (7) lama laktasi 10 bulan, (8) lama pengeringan 2 bulan, (9) calf crop lebih dari 80%. Adanya indikasi gangguan reproduksi pada sapi perah ditandai dengan : selang beranak melebihi 400 hari, days open lebih dari 120 hari, CR kurang dari 50%, S/C lebih dari 2, dan jumlah induk sapi yang lebih dari 3 kali IB untuk terjadinya kebuntingan melebihi 30%.
C. Pemuliaan Ternak
Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk merubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. Hal – hal yang dilakukan sebagai berikut :
- Pencatatan / Recording
Recording adalah suatu kegiatan yang diawali dengan pemberian tanda baik nomor telinga atau bentuk registrasi lainnya, pengukuran, penilaian, silsilah dan produktivitas yang akan digunakan sebagai bibit (Direktorat Perbibitan Ternak, 2012). Setiap usaha pembibitan sapi perah hendaknya melakukan pencatatan meliputi :
1. Rumpun, identitas ternak dan sketsa atau foto ternak;
2. Identitas, alamat kelompok dan organisasi peternak;
3. Silsilah, rumpun, identitas tetua, produktivitas dan abnormalitas tetua;
4. Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/kawin alam, berat kawin);
5. Kelahiran (tanggal, bobot lahir, sex, tipe kelahiran, calving-ease);
6. Beranak dan beranak kembali (tanggal, paritas);
7. Pakan (jenis, konsumsi);
8. Vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment);
9. Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak).
Contoh kartu recording terdapat pada lampiran. Identifikasi sapi perah dan monitoring jadwal birahi, tingkat produksi susu, kesehatan sapi, dsb sudah dapat dilakukan secara terkomputerisasi, misalnya dengan aplikasi Sistem Identifikasi dan Informasi Sapi Perah Indonesia (SISI) dan Artificial Insemination Database Application (AIDA) (Nurgiartiningsih, 2010).
Manfaat recording menurut Nurgiartiningsih (2010) dan Setiadi et al. (2013) yaitu :
- sebagai data dasar untuk seleksi ternak. Kurang tersedianya data melalui proses recording mengakibatkan seleksi untuk memilih ternak unggul yang akan dikembangbiakkan sebagai bibit hanya didasarkan pada bentuk luar saja dan bukan berdasar informasi potensi genetik;
- untuk melakukan evaluasi perkembangan performans produksi individu maupun populasi suatu jenis ternak antar generasi;
- mengetahui silsilah ternak sehingga bermanfaat dalam melakukan analisis komponen ragam dan menduga nilai pemuliaan seekor ternak;
- menentukan apakah ternak yang bersangkutan termasuk kriteria bibit sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Apabila ternak yang bersangkutan sesuai SNI dapat diberikan Surat Keterangan Layak Bibit (SKLB) oleh Dinas Peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan provinsi/kabupaten/kota. Apabila suatu usaha pembibitan ternak yang dalam proses pembibitan ternak telah menerapkan sistem manajemen mutu (SMM) dan mendapat sertifikat ISO 9001:2008, maka ternak bibit yang dihasilkan sesuai SNI, dapat diberikan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda – SNI (SPPT-SNI) oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) Benih dan Bibit Ternak yang telah terakreditasi. SKLB atau sertifikat bibit dapat meningkatkan nilai jual ternak bibit.
- Seleksi
Seleksi diartikan sebagai upaya untuk memilih dan mempertahankan ternak – ternak yang dianggap baik untuk terus dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan datang dan mengeluarkan ternak – ternak yang dianggap kurang baik berdasarkan informasi tentang keunggulan ternak (selanjutnya dikenal dengan istilah nilai pemuliaan). Nilai pemuliaan (Breeding Value) didefinisikan sebagai nilai seekor ternak sebagai tetua yang diperoleh dari perkawinan acak. Nilai pemuliaan memberikan gambaran tentang dugaan kemampuan mewariskan sifat tertentu (Kurnianto, 2009).
Metode seleksi diantaranya seleksi berdasarkan performa individu, keluarga (family), kombinasi antara individu dan keluarga, silsilah, hubungan kolateral dan uji keturunan (Santosa et al., 2011). Seleksi dalam pemuliaan ternak meliputi langkah-langkah : mengoreksi data, memperkirakan heritabilitas, memperkirakan nilai pemuliaan (Estimated Breeding Value / EBV), membuat peringkat calon berdasarkan EBV dan menghitung respon seleksi (Adjisoedarmo, 2004). Seleksi pada sapi perah dapat dilakukan sejak laktasi pertama (Cilek dan Sahin, 2009; Santosa et al., 2011; Ambarwati, 2013; Togashi dan Lin, 2008).
Heritabilitas merupakan parameter genetik yang menggambarkan nilai / ukuran seberapa banyak tetua mentransfer kemampuan produksinya untuk keturunannya (Usman et al., 2012). Heritabilitas penting karena digunakan untuk membantu merencanakan program pemuliaan, menentukan metode seleksi yang cocok untuk peningkatan produktivitas, memperkirakan nilai pemuliaan individu ternak, dan memprediksi respon terhadap seleksi (Cassell, 2009). Heritabilitas produksi susu sapi perah berada pada kisaran 0,20 – 0,30 (Kurnianto, 2009).
Perbedaan antara rata – rata fenotip dari tetua terpilih dan rata-rata fenotip dari keturunannya dikenal sebagai respon seleksi. Ini juga disebut respon seleksi aktual karena benar – benar mengukur peningkatan fenotip dari hasil seleksi yang diterapkan. Respon seleksi aktual hanya dapat dihitung setelah keturunan induk terseleksi berproduksi. Oleh karena itu, membutuhkan waktu yang cukup lama. Perhitungan taksiran respon seleksi dapat digunakan untuk memperkirakan berapa banyak rata – rata fenotip akan meningkat setelah seleksi. Perhitungan ini biasanya dilakukan sebelum data fenotip dari keturunan tetua terpilih tersedia (Santosa et al., 2011). Marshall dan Dempfle (2013) menjelaskan bahwa besarnya respon seleksi per tahun dipengaruhi oleh akurasi seleksi, intensitas seleksi, selang generasi, dan variasi genetik. Semakin kecil proporsi ternak terseleksi maka semakin besar intensitas seleksi. Selang generasi tergantung dari umur beranak pertama, selang beranak, dan jumlah anak.
- Afkir (Culling)
Berdasarkan Permentan no. 55 tahun 2006, pengeluaran ternak yang sudah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan bibit (afkir/culling) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
- Sapi induk yang tidak produktif harus segera dikeluarkan;
- Keturunan jantan yang tidak terpilih sebagai calon bibit (tidak lolos seleksi) dikeluarkan, dapat dikastrasi dan dijadikan sapi bakalan;
- Anak betina yang pada saat sapih atau pada umur muda menunjukan tidak memenuhi persyaratan bibit harus dikeluarkan.
- Ternak Pengganti (Replacement Stock)
Bibit sapi perah untuk pengganti induk / peremajaan diprogram secara teratur setiap tahun.
Sebagai kesimpulan, Manajemen pembibitan sapi perah (Good Breeding Practice / GBP) yang baik sangat diperlukan untuk menghasilkan bibit sapi perah yang berkualitas sehingga kuantitas dan kualitas produksi susu yang dihasilkan juga maksimal. Penerapan GBP meliputi banyak aspek, yaitu sarana, prasarana, dan manajemen pemeliharaan (lokasi, perkandangan, bibit, pakan, obat-obatan, sanitasi dan kesehatan ternak), manajemen reproduksi, serta pemuliaan ternak (seleksi). Keseluruhan aspek saling mendukung, sehingga kurangnya perhatian pada salah satu atau beberapa aspek dapat berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas sapi perah. Performa ternak sebagai bibit dapat diukur dan dianalisis apabila pencatatan (recording) dilakukan dengan baik, lengkap, dan teratur.